Liburan di Desa Terpencil Tanpa Sinyal: Pengalaman yang Mengubah Cara Pandang Hidup
Di zaman serba digital, sebagian besar orang berlibur untuk mendapatkan foto indah atau konten Instagram yang “layak unggah”. Tapi ada tren kecil yang diam-diam tumbuh—liburan ke tempat yang benar-benar tidak terkoneksi. Bukan karena teknologinya kuno, tapi ijobet karena disengaja. Dan hasilnya? Mengubah cara pandang hidup banyak orang.
Bayangkan sebuah desa kecil di atas pegunungan. Tidak ada Wi-Fi, tidak ada sinyal seluler. Jalan masuknya hanya bisa ditempuh dengan trekking ringan selama dua jam. Begitu sampai, yang menyambut adalah udara dingin, suara jangkrik, dan orang-orang lokal yang ramah tapi tidak terlalu peduli dengan jam.
Di sana, wisatawan tinggal di rumah-rumah kayu sederhana, memasak bersama penduduk, dan tidur tanpa gangguan notifikasi. Setiap hari diisi dengan hal-hal sederhana: menyusuri sawah, ikut panen kopi, atau belajar membuat kerajinan tangan dari bambu.
Yang menarik, banyak yang melaporkan efek psikologis positif setelah tinggal di desa seperti ini. Pikiran lebih jernih, tidur lebih nyenyak, dan yang terpenting—mereka merasa “hadir sepenuhnya” dalam momen.
Liburan seperti ini bukan untuk semua orang. Tidak ada AC, tidak ada Netflix, dan tidak ada tempat untuk “flexing”. Tapi untuk mereka yang berani mencoba, hadiah yang didapat jauh lebih besar: koneksi yang nyata—dengan alam, dengan orang lain, dan dengan diri sendiri.